Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat Fatawa Arkan al-Islam hlm. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hlm. 147)
Allah ta’ala berfirman tentang tanggapan orang-orang musyrik terhadap dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Apakah dia hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja? Sungguh ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (Shad: 5)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka pun menyombongkan diri [tidak menerima kebenaran] seraya mengatakan: Apakah kami akan meninggalkan sesembahan-sesembahan kami gara-gara seorang penyair gila?” (ash-Shaffat: 35-36)
Dalam bagian lain, Allah ta’ala menegaskan (yang artinya), “Yang demikian itu karena Allah adalah al-Haq [sesembahan yang benar] adapun segala yang mereka seru selain Allah itulah al-Batil [sesembahan yang batil].” (al-Hajj: 62)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Adapun segala yang mereka seru selain Allah adalah batil; yaitu patung, tandingan, berhala, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah maka itu adalah [sesembahan yang] batil; karena ia tidak menguasai kemanfaatan maupun madharat barang sedikit pun.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/449])
Hanya Allah yang patut disembah, karena Allah semata yang menciptakan alam semesta ini. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 21)
Oleh sebab itulah Allah ta’ala menyatakan (yang artinya), “Dan Rabbmu memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya.” (al-Isra’: 23)
Allah ta’ala pun memerintahkan dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’: 36)
Inilah yang senantiasa dibaca oleh kaum muslimin di dalam sholat mereka tatkala membaca firman Allah (yang artinya), “Hanya kepada-Mu [ya Allah] kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (al-Fatihah: 4)
Orang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melaksanakan konsekuensinya, yaitu beribadah kepada Allah, tidak berbuat syirik dan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan yang bisa memasukkan ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Kamu mendirikan sholat wajib, zakat yang telah difardhukan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan ilahiyah- maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hlm. 49-50)
Dengan demikian, seorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)
Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan tetapi tidak mengingkari sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang salih [yang sudah mati] maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah. Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh hanya mengambil sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hlm. 12)
# Sumber : Blog Terjemah Kitab Salaf
—